Kawasan Glodok memiliki peran penting dalam proses berdirinya kota Batavia hingga berkembang menjadi Kota Jakarta. Di masa pemerintahan Kolonial Belanda, kawasan Pancoran Glodok adalah pintu gerbang utama menuju Kota Batavia dari arah Selatan. Menurut warga setempat sebutan ‘Glodok’, diambil dari suara air pancur yang keluar dari sebuah bangunan kecil berbentuk segi delapan yang dibangun sekitar 1743 di tengah-tengah halaman Stadhuis (kini Museum Sejarah Jakarta). Bunyi air ‘grojok..grojok..’ dari pancuran itulah oleh penduduk Tionghoa dieja sebagai ‘Glodok’. Bangunan ini banyak membantu serdadu Belanda karena mengalirkan air bersih yang bisa digunakan sehari-hari.
Teh dan Kota Tua Jakarta
Sejarah perkembangan kawasan Glodok dan Kota Tua Jakarta sendiri tak lepas dari teh. Tidak saja sebagai komoditi perdagangan, tapi juga tradisi. Di Batavia, teh pertama kali diperkenalkan oleh Andreas Cleyer, ahli botani dan Japanolog yang bekerja untuk VOC. Ia membawa bibit teh pertama dari Jepang pada 1684 yang kemudian ditanam di sekitar Tijgergracht, kanal di Batavia abad ke-17.
Teh dan Wabah
Pada 1629, dalam serangan kedua pasukan Mataram ke Batavia menyebabkan Sungai Ciliwung sebagai satu-satunya sumber air bersih tercemar. Banyak warga Batavia yang meninggal akibat wabah disentri dan kolera. Tetapi, jumlah korban dari warga Tionghoa justru sedikit. Diusut ternyata tradisi warga Tionghoa menyeduh teh dengan air panas telah menyelamatkan nyawa mereka.
Kapitan Gan Djie dan Patekoan
Kawasan ini cukup lekat dengan kisah kemurahan hati seorang Kapitan Cina bernama Gan Djie dan istrinya. Setiap harinya, pasangan ini menyediakan delapan teko teh di depan kantor Kapitan yang kerap menjadi tempat singgah para pedagang keliling yang kelelahan. Air teh itu bisa diminum tanpa dipungut biaya. Lama kelamaan, penyediaan teh dalam delapan teko teh itu menjadi petunjuk utama bagi warga yang mencari kantor Kapitan di kawasan Pecinan. Kawasan ini pun kemudian dikenal sebagai Patekoan, yang dalam bahasa Tiongkok Pa berarti delapan dan Te-Koan berarti teko teh.
Pantjoran Tea House
Salah satu bangunan yang menjadi landmark di kawasan Glodok/Pecinan, yang sudah berdiri sejak tahun 1635, adalah sebuah toko obat tertua kedua di Jakarta (d/h Batavia) yang didirikan sekitar tahun 1928, dikenal sebagai Apotheek Chung Hwa. Untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan kawasan Kota Tua Jakarta sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO, bangunan ini direvitalisasi pada tahun 2015 oleh arsitek Ahmad Djuhara, dan beralih fungsi menjadi kedai teh dengan nama Pantjoran Tea House. Budaya minum teh di kawasan Pecinan sangat kuat pada saat itu. Bibit teh pertama dibawa dari Jepang oleh seorang botanis bernama Andreas Cleyer dengan kapal VOC yang biasanya berlabuh di sekitar Kota Tua Jakarta.